**
Oleh: H. Ahmad Rofi' Usmani
***
Huwa al-habibu al-ladzi, turja syafa‘atuhu
Min kulli haulin min al-ahwali muqtahimi
---
Ya Rabbi bi al-Musthafa, balligh maqashidana
Waghfir lana ma madha, ya wasi‘ al-karami
---
Maulaya shalli wa sallim da’iman abada
‘Ala habibika khairi al-khalqi kullihimi
Dialah sang kekasih yang syafaatnya dinanti senantiasa
(Dalam menghadapi) segala derita dan petaka yang menerpa
---
Wahai Tuhan, demi Al-Musthafa (Muhammad Saw.)
Antarkanlah kami dalam menggapai cita-cita
Juga, ampunilah kami dari segala dosa
Wahai Yang Mahaluas dalam menganugerahkan karunia
---
Tuhan kami, shalawat dan salam kiranya tercurahkan senantiasa
Kepada kekasih-Mu yang tiada manusia mana pun kuasa menyetarainya
Ketika pertama kali mendengarkan madah Al-Burdah indah yang didendangkan Gus Dur (Allahu yarhamuh) di sebuah channel tivi tiga hari yang lalu, tak terasa tetes air mata menetes pelan dari kedua mata saya. Lama sekali saya tercenung dan termenung. Entah mengapa, mendengarkan madah nabawiyyah indah menyayat hati yang disenandungkan Gus Dur dengan sepenuh hati itu , yang terbayangkan oleh saya seakan Gus Dur sedang bersimpuh dan berdoa dengan sepenuh hati kepada Allah Swt. dengan tetes mata meleleh deras.
Madah indah yang disenandungkan Gus Dur itu sejatinya adalah penggalan dari madah Al-Burdah yang digubah Abu ‘Abdullah Syarafuddin Muhammad bin Sa‘id Al-Shanhaji Ad-Dalashi Al-Bushiri, seorang penyair yang wafat pada 681 H/1279 M di Mesir. Nah, madah dengan judul Al-Kawakib Al-Duriyah fi Madh Khair Al-Bariyyah itu sendiri sejatinya merupakan kasidah yang berisi pujian, kisah kelahiran, mi‘raj, perjuangan, dan doa bagi Nabi Muhammad Saw. Karya yang terdiri dari 162 bait dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, antara lain ke dalam bahasa Latin (1175 H/1761 M), Inggris oleh J.W. Redhouse (1299 H/1881 M), Perancis oleh de Sacy (1238 H/1822), Italia oleh Giuseppe Gabrieli (1319 H/1901 M), dan Jerman oleh Vincenz von Rosenzweig-Schawanau (1240 H/1824 M), di samping berbagai bahasa di dunia Islam, lahir selepas melintasi proses yang menarik:
Suatu saat Al-Bushiri berhasrat sekali menggubah madah panjang untuk Rasul Saw. Ketika ia mulai menggubah karyanya itu, ia jatuh sakit dan kemudian kelumpuhan menimpa dirinya. Tapi, hal itu tidak menghalanginya untuk melanjutkan upayanya itu, seraya berdoa kiranya Allah Swt. menyembuhkan kelumpuhan yang menimpa dirinya. Kemudian, suatu peristiwa aneh menimpa dirinya. Selama berbulan-bulan ia merasakan bahwa sesuatu akan terjadi pada dirinya. Manakala makan, ia lebih suka menyendiri, untuk menantikan sesuatu yang bakal terjadi. Manakala tidur, ia suka mencari kamar yang terpencil dan kemudian menantikan sesuatu yang menggelitik perasaannya. Tapi, bukan kematian yang ia nanti-nantikan. Perasaannya mengatakan, seorang tamu agung bakal mengunjunginya. Tamu agung berasal dari sebuah negeri nun jauh dan membawa pesan khusus kepadanya. Kondisi ini membuat karyanya tidak kunjung rampung.
Dari manakah datangnya perasaan serupa itu? Al-Bushiri sendiri tidak mengetahuinya. Tapi, ia senantiasa merasa, ia harus menanti dalam keadaan bersih dan suci. Lahir dan batin. Lantas, pada suatu malam, dalam mimpi, datanglah sang tamu yang ia nanti-nantikan. Tutur Al-Bushiri tentang peristiwa ini, “Dalam mimpi itu aku bertemu dengan Nabi Saw. Beliau kemudian mengusap-usapkan tangan beliau di pinggangku dan menyerahkan sepotong baju (burdah) kepadaku. Dalam pertemuan itu, tiba-tiba aku berhasil merampungkan gubahanku. Aku pun mendendangkannya di hadapan beliau. Kemudian aku terbangun. Tiba-tiba aku berdiri dan mampu berjalan lagi. Gubahanku itu kemudian kunamakan dengan Al-Burdah.”
Mengapa hati saya sangat tergetar, sehingga tetes air mata pelan membasahi kedua pipi saya, ketika mendengarkan pertama kali Gus Dur menyenandungkan madah yang indah itu? Hal itu mengingatkan saya pertemuan pertama saya dengan Gus Dur ketika saya kembali ke tanah air selepas menimba ilmu di Mesir: di dini hari pada 23 Februari 1984, selepas dua hari berada di Jakarta, saya pun menemui Gus Dur di Ciganjur (dekat Gudang Peluru, Cilandak, bukan di Jl. Warung Sila). Gus Dur adalah tokoh pertama yang saya temui di Indonesia. Dalam pertemuan itu, saya membawakan sebuah buku menarik, karya Dr. Muhammad Jabir Al-Anshari, Tahawwulat Al-Fikr wa Al-Siyasah fi Al-Syarq Al-‘Arabi, 1930-1970 (diterbitkan oleh Al-Majlis Al-Wathani li Al-Tsaqafah wa Al-Funun wa Al-Adab pada 1980) yang telah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (satu kopi terjemahan karya itu saya serahkan kepada Gus Dur, satu kopi saya pinjamkan kepada Cak Dr. Amal Fathullah Zarkasyi yang kini menjadi seorang kiai yang memimpin Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur).
Begitu menerima buku dan terjemahan karya itu, lama Gus Dur membolak-balik “oleh-oleh” saya dari Mesir itu. Lantas, Gus Dur bertanya kepada saya, “Anda tentu telah membaca dan menelaaah karya ini. Apa kelebihan karya ini dibandingkan dengan karya Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1789-1939? Saya ingin pandangan Anda yang paling obyektif?”
“Gus,” jawab saya agak kebingungan, karena menerima pertanyaan yang tak terduga itu. “Dua karya itu memang merupakan dua karya menarik tentang cikal bakal pembaharuan Islam di Timur Tengah dan perkembangannya serta dan para tokoh-tokohnya. Tapi, menurut saya, dalam karya Dr. Muhammad Jabir Al-Anshari ada suatu tesis menarik yang tidak saya temukan dalam karya Albert Hourani maupun karya-karya lain tentang gerakan pembaharuan Islam di Timur Tengah…”
“Apa itu?” tanya Gus Dur. Penuh perhatian.
“Begini, Gus,” jawab saya. “Semua pembaharu Muslim terkemuka di Timur Tengah, seperti halnya Thaha Husain, Muhammad Husain Haikal, dan Al-‘Aqqad, akhirnya mengakhiri “pengembaraan” mereka, sebelum mereka berpulang, pada suatu titik yang mirip: mereka akhirnya kembali ke pemikiran moderat yang berada di tengah-tengah pelbagai arus pemikiran Islam yang sedang berkembang di kawasan itu. Menariknya, kembalinya mereka ke pemikiran moderat itu senantiasa mereka tandai dengan penulisan karya mereka tentang Rasulullah Saw. Hal itu seakan memberikan isyarat bahwa mereka kembali ke ‘lingkungan Rasul Saw.’”
Mendengar jawaban saya demikian, Gus Dur termangu lama. Dan, kemudian Gus Dur berucap pelan, “Saya pun akan demikian. Suatu ketika, sebelum berpulang, saya pun akan ‘mencari Kanjeng Nabi Saw.’ dahulu….”
Kemudian, kami pun terlibat dalam perbincangan panjang hingga menjelang jam delapan pagi. Karena itu, tiga hari yang lalu, ketika mendengarkan madah nabawiyyah menyayat hati yang didendangkan Gus Dur tersebut, saya teringat pertemuan saya dengannya pada 1984 itu, seraya bergumam pelan, “Gus, kiranya Kanjeng Nabi Saw. memberikan syafaatnya kepadamu…”
----
(2 Januari 2010 pukul 10:27.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar